Review: Film Koala Kumal (2016)

Kali ini gue akan me-review film, bukan novelnya. Sebagai tambahan: gue belum pernah beli maupun baca novelnya, jadi ini bener-bener review alami tanpa tahu apa-apa tentang novel Koala Kumal-nya Radit. Gue tahu gimana Radit kalau berkomedi, gue suka sama medium yang dia pakai, tapi ini dikemas dalam bentuk film dan pemeran ceweknya cakep, jadi yaaaa...

Ini review, bukan tempat cari sinopsis. Sinopsis sifatnya absolut, nggak relatif kayak gini.

Film ini cocok ditonton minimal SMP kelas 2, karena film ini mengajarkan kita (setidaknya) beberapa cara untuk move on dari mantan pacar. Kalau kamu lebih muda, ya jadi bekal masa depan saja. Tapi selalu inget, realita nggak semanis kehidupan di film-film, itu semua cuma fiktif biar ceritanya nggak terlalu mainstream sama kehidupan sehari-hari aja.

Gue walaupun kondisinya belum masuk kuliah film, tapi gue udah baca buku "Screenplay" karya Syd Field yang bisa dicari di Google/Amazon. Shooting film dan color grading gue juga sudah belajar dari Simon Cade di YouTube dan FilmRiot dan berbagai banyak lagi. Jadi ini semua gue nggak sembarang nge-judge atau komentar.

To the point: AUDIONYA JELEK. Gue tahu ini film big-budget dari cara merekam scene-scenenya (scene mobil itu mahal, dan scene di MaxxBox itu juga mahal) dan dari produsernya. Kalau kamu perhatikan, setiap selesai dialog dari seorang tokoh, ada gema dry/kering yang terdengar seperti track audionya tidak di mixing dengan baik atau seperti di-dubbing. Cara terbaik (dengan big-budget itu) bisa saja dengan mic wireless lavaier, bisa lebih mudah untuk mixingnya dan merendahkan harga sound recordist-nya dibandingkan dengan broom-pole dan mixingnya ribet (Dolby 7.1) dan masih dry. Tata musiknya juga kurang. Apa yang dibutuhkan dari film adalah sisi dramatis. Karena itu disebutkan "dramatic look" atau "film look", bukan standar saja. Itu nggak tercapai disini, sayang sekali padahal.


Gue cukup salut pada shootingnya, mereka mencari waktu dimana sedang soft light/mendung. Padahal kalau tengah adegan tiba-tiba hujan/gerimis, agak ribet itu, karena gue lihat ada yang pakai drone, dolly, bahkan multi-cam. Set-up kabel nya aja lama, gimana mendadak hujan haha. Tapi satu hal yang bikin gue kecewa itu SCENE PERTAMA! Ada 2 orang berantem, dengan suara Radit Off-Scene. Bukan karena saat pindah POV, di shoot dengan frog-eye, tapi untuk komposisi orang yang berantem, di pinggir jalan dan di ujung parkiran kawasan Jakarta, agak nggak logis aja mereka bisa berantem dan putus disitu. Bisa aja director of photography-nya pindahin ke spot yang lebih sepi, jadi logikanya kedua tokoh yang berantem tadi lebih logis (logikanya: malu dilihat orang banyak).

Entah ini berada di screenwritingnya atau di shootingnya: ada beberapa scene yang terlalu panjang/lelet. Biasanya film itu fast-moving, timestamp plot ini untuk film durasi standar (2 jam) walaupun hanya 96 menit, bisa di efektifkan untuk hal lain. Jadi, audience agak bete/bosen sama beberapa scene ini yang nggak efektif untuk membawa story-nya kedepan.

Color Grading, cukup baik, dengan aspect ratio 2.35:1 saya cukup tertarik dengan pembawaannya, namun di beberapa scene tidak terlalu dapat kesan dramatisnya, mungkin karena musiknya juga. Tapi untuk scene-scene yang berada pada malam hari, cukup jelas apa yang penonton harus lihat. Tapi untuk scene yang terdapat orang banyak, mungkin bisa di beri vignette, mengingat pada shooting, komposisinya kurang padat.

Screenwriting, gue suka Radit dan cara dia menulis, dan cara dia memberi kejutan, dan cara dia menyelipkan hal lucu. Favorit gue itu pas Acha dan Nino rebutan flashdisk pada saat Nino sedang di kamar rumah sakitnya, dan pasien Nino (orang tua, sekitar 70-80 tahun), tiba-tiba berdialog, "Kalau rebutan ples-dis saja, saya juga bawa, nih." dan "Sebaiknya saya keluar dulu, ya?". Walaupun ketawa terpanjang ada pada saat pil pelemas otot bekerja pada Radit, orang tua tadi lebih ngena, nggak lama buat mikir ketawanya. Ceritanya memang ringan, tapi kelemahan Radit adalah pada cerita yang ringan ini, justru. Gue kurang rasa cocok kalau seorang screenwriter, memberikan pesan/makna yang terlalu to-the-point, bisa dilihat di beberapa dialog dari Mama Radit yang panjang banget dan gue nggak hafal. Kesannya pesan/makna itu jadi nggak terlalu dalem, walaupun gampang diserap sama penonton.

Endingnya memungkinkan untuk adanya sequel, namun bisa saja cliche-nya sama atau plotnya nggak beda jauh, berhubung mungkin juga akan sekitaran "move on" dan "mencari wanita untuk di nikahi". 

Sekian aja lah, review ini, kalau ada pertanyaan seputar istilah-istilah yang filmic gitu, tanya aja dikomentar. Terimakasih :)

No comments:

Post a Comment